Di balik kemenangan pemerintahan Bashar Al Assad dalan menguasai kembali 70 persen wilayah dari 15 persen tahun 2015, terdapat kekuatan pasukan elit yang dikirim ke berbagai medan tempur.

Sampai saat ini, milisi yang direkrut dari pengungsi Palestina di Suriah itu tetap aktif mengepung sisa-sisa pasukan ISIS.

Salah satu yang sering terdengar adalah Liwa Al Quds yang dibentuk intelijen angkatan udara Suriah usai bermulanya revolusi musim semi Arab.

Memang di angkatan bersenjata Suriah sendiri sudah lama terdapat divisi pasukan Palestina, namun nama Liwa Al Quds ini yang sering tampil di pemberitaan media.

Jumlah pengungsi Palestina di Suriah termasuk besar dan mereka yang mengungsi tahun 1948 diharuskan untuk ikut wajib militer.

Akan tetapi pengungsi Palestina tidak hanya bergabung dengan pasukan Assad. Beberapa ikut bersama oposisi dan bahkan ISIS.

Yang ikut oposisi disebut berkaitan dengan Hamas namun ini disangkal oleh pihak yang terkait. Sampai saat ini hubungan antara Assad dan Hamas sangat buruk karena tuduhan Hamas mengikuti kebijakan Israel melawan Assad.

Para petinggi Hamas berusaha memperbaiki hubungan dengan Assad, namun media-media pro pemerintah sudah mencap Hamas sebagai kelompok teroris, tidak lagi sebagai pejuang sebagaimana PLA atau PLA.

Assad memang belakangan pintar memainkan politik internalnya. Untuk melawan ISIS dia memajukan milisi Palestina karena sama-sama Sunni.

Sementara untuk melawan Idlib dkk di utara Suriah, dia memajukan milisi dari Daraa yang merupakan eks pejuang oposisi yang sudah rekonsiliasi dengan pemerintah. 

Uniknya satu per satu milisi hasil rekonsiliasi itu belakangan mengalami pembunuhan misterius yang disinyalir dilakukan oleh intelijen Assad.

Pasukan Daraa yang bergabung dengan Korps Kelima akhirnya mengusir pasukan Assad dari Daraa walau tetap loyal dengan Rusia yang menjadi penengah dalam rekonsiliasi. 

Assad juga tidak segan untuk mendepak Hizbullah dan Iran jika melakukan negosiasi dengan Isreal melakui Rusia.

Dalam pembukaan pintu perbatasan dengan Israel di Golan, wilayah Suriah yang masih dikuasai Tel Aviv, salah satu persyaratan Israel adalah Hizbulah dan milisi Iran harus dijauhkan dari perbatasan Israel. Kini pintu tersebut sudah dibuka.

Untuk melawan Turki, Assad juga tak sungkan memenuhi panggilan SDF untuk mengawal perbatasan Suriah-Turki di wilayah NES, tentu kembali ditengahi Rusia.

Namun belakangan setelah Turki menghentikan operasinya, SDF dan NES kembali menunjukkan kebijakan anti Al Assad dan media-media pro SDF juga mulai menguliti kebijakan Damaskus.

Assad memang di atas angin. Sikapnya yang lunak kepada SDF dan pasukan AS di wilayahnya disebut membuat AS tak lagi ingin menjatuhkan Assad. Kini embargo dilakukan untuk membuat Assas menjadi pemimpin yang baik, bukan untuk dijatuhkan.

Hal ini membuat Assad lebih berani menantang Rusia dan tentunya juga Turki.

Seorang anggota parlemen Suriah bahkan berani mengancam agar Rusia tidak macam-macam dengan Assad, kalau tidak pangkalan militer Rusia di Suriah bisa diakhiri.

Assad juga sudah membuka perbatasan dengan pemerintahan penyelamat Suriah (SG) di Idlib dan ini membuat gerah pemerintahan SIG yang mewakili oposisi.