Jika melihat peta perimbangan kekuatan di Suriah saat ini, pasukan rejim Bashar Al Assad sebenarnya sudah jauh unggul dibandingkan dengan pihak oposisi.

Bahkan jika semua pihak oposisi bergabung lawan Assad, rejim masih bisa memenangi peperangan.

Beberapa pertimbangan berikut, diambil dari berbagai sumber bisa menjelaskan.

1. Dengan kehancuran besar pada infrastruktur, rejim Bashar Al Assad tidak sedang terburu-buru untuk menguasai semua wilayah oposisi. Hal itu dapat dilakukan kapan-kapan jika rekonstruksi di wilayah Assad sudah optimal.

2. Dengan penerapan embargo Caesar oleh AS, rejim pasti belum siap untuk mendanai semua wilayah Suriah secara ekonomi. Apalagi harus menerima kembali 6 juta pengungsi dari luar negeri. Bisa-bisa pemerintahan Assad akan kolaps dan berutang jika ada warga yang menuntut propertinya dibangun kembali sebagaimana Mosul di Irak. Pemerintahan Baghdad kini kebingungan mencari pinjaman untuk rekonstruksu usai merebut Mosul dari ISIS.

3. Dengan membiarkan oposisi menguasai sebagian wilayah, tentu pemerintahan lawan seperti SG, SIG dan NES akan membangun sendiri kerusakan di wilayah masing-masing dan warga akan terima apa adanya pembangunan di sana.

4. Dengan memperlama konflik dan tidak menguasai wilayah oposisi, rejim menunda rekonsiliasi dan pengungsi menjadi enggan untuk kembali. Rejim bisa melelanh dan menjual properti yang ditinggal pemiliknya. Itu sudah dilakukan dalam beberapa bulan ini dengan alasan pemiliknya adalah bagian dari pemberontak. Banyak yang mengkritisi kebijakan ini dan itu sudah dilakukan Israel kepada warga Palestina sejak lama.

5. Jika perang usai, ada kemungkinan pasukan Iran, Rusia dan Hezbollah akan angkat kaki. Dan ini bisa mengkhawatirkan rejim karena dia harus kembali sendirian menghadapi masalah. Juga ini tidak diinginkan oleh Iran karena justru karena konflik Iran bisa bercokol di Suriah.

6. Uniknya Israel yang ingin pasukan Iran hengkang dari Suriah juga tak ingin konflik segera berakhir karena dengan adanya pemberontak, Israel tak perlu usaha keras untuk mengganggu Assad.

7. Dengan adanya konflik dan pasukan Iran di Suriah, Israel semakin mempunyai banyak alasan untuk menghujani Damaskus dengan rudal kapan saja dibutuhkan.

8. Ada kemungkinan, jika Idlib segera dikuasai rekonsilisasi tidak terjadi normal sebagaimana warga Daraa yang kini diintegrasikan ke pasukan rejim. Militer SG di Idlib akan melakukan perang habis-habisan termasuk mengganggu  ketenangan Rusia di Tartus dan Latakia. Tapi itupun jika rejim sudah siap membiayai rekonstruksi Idlib dan kepulangan pengungsi termasuk pulang ke properti yang sudah dilelang rejim ke pihak lain.

9. AS sudah secara publik mengatakana bahwa tujuan mereka tidak lagi untuk menggulingkan Assad, tapi hanya sekedar menegur. Artinya AS dan sekutu secara defakto mengakui Assad walau di atas kertas masih mengakui oposisi (SNC) sebagai pemerintahan legitimate dan NES sebagai daerah otonom. Ini membuat Assad menjadi tak perlu harus terburu-buru menguasai semua wilayah.

10. Pasukan rejim saat ini menguasai 60-70 persen wilayah Suriah dan menjadi yang terkuat. Tapi di belakang layar, terjadi friksi antara jenderal pro Iran dengan pro Rusia.

11. Pasukan Daraa yang cukup kuat dan terdiri dari eks pasukan oposisi yang sudah rekonsiliasi, belakangan menjadi target pembunuhan misterius oleh intelijen rejim. Kemungkinan mereka tidak seserius saat merebut kembali Idlib dulu dibandingkan sekarang. Walaupun tanpa mereka pasukan rejim juga lumayan kuat.

12. Daerah Idlib yang ada sekarang merupakan zona aman yang disepakati Rusia, Iran dan Turki. Walaupun begitu, perjanjian negara guarantor ini tidak terlalu mengikat dan bisa saja dilanggar jika Rusia yang menginginkan. Walau begitu, pasukan rejim harus terlebih dahulu melawan pasukan Turki.  Dan jikapun Turki mengundurkan diri, rejim belum tentu mau  menanggung semua beban ekonomi Idlib.

13. Pejabat AS yang berkunjung ke NES sudah beberapa kali menyebut bahwa sebenarnya konflik Suriah sudah selesai, walau masih ada beberapa kontak senjata. Karena semua pihak di Suriah kini berada dalam posisi saling menyandera.

14. Satu lagi yang paling penting, jika konflik Suriah selesai, maka ada kemungkinan Assad akan dijerat ke Mahkamah Internasional oleh pemimpin dunia. Ini sudah terjadi dengan Presiden Sudan Omar Al Bashir, yang kemudian bersedia menandatangani perjanjian damai dengan pemberontak dan merelakan Sudan Selatan merdeka. Suasana yang damai itu pula yang menjadikan iklim yang tepat untuk mengadili Omar Al Bashir di Mahkamah Internasional. Dan akhirnya kekuatan politiknya melemah dan belakangan dituntut lawan politik mundur.

15. Berbeda dengan kasus Yaman dan Libya, oposisi di Suriah sangat lemah, rapuh dan mudah ditinggalkan pengikutnya. Bahkan insfrastruktur bernegara juga tidak serius dibangun. Sementara oposisi Tobruk di Libya mauoun Houthi di Sanaa sudah membangun Bank Sentral, maskapai dll layaknya sebuah negara.

16. Bagi rejim, akan lebih baik menunggu oposisi SIG dan SG runtuh sendiri dan menyerah daripada harus dikuasai secara paksa. Berbeda dengan NES yang menguasai 70 persen ladang minyak eks ISIS dan didukung AS, wilayah oposisi miskin SDA.

17. Tanpa usaha rejim untuk menundukkan SG dan SIG, pasukan NES/SDF juga sedang melancarkan perang berkepanjangan lawan SIG merebut kembali wilayah yang awalnya milik NES. Jadi lebih baik menunggu salah satunya runtuh.

18. Sulit bagi SG dan SIG mendapat pengakuan dunia sebagaimana Korut dan Korsel. Sehingga tak ada keperluan mendesak untuk merebutnya.

19. Penguasaan 70 persen wilayah Suriah itu sudah lebih baik dibandingkan hanya 15 persen di 2015 sebelum Iran dan Rusia memberikan bantuan. Dan itu tidak menjadikan Assad terburu-buru untuk membebaskan semua wilayah walau di ranah publik tetap mengatakan bertekad membebaskan. Dalam hal ini Assad lebih pintar dari Saddam Hussein dan Moammar Ghaddafi.

Walaupun berbagai poin di atas sudah menjelaskan posisi rejim, bukan berarti semuanya menjadi aman. Insiden kecil-kecilan tetap terjadi khususnya untuk tetap memastikan SG dan SIG melemah bukan malah menguat.