Sudan kembali berada di persimpangan sejarah. Di tengah perang saudara yang telah memasuki tahun ketiga, sinyal-sinyal gencatan senjata dan peluang menuju perdamaian abadi mulai muncul ke permukaan. Pernyataan terbaru dari Ezz El-Din Al-Safi, penasihat senior Panglima Pasukan Pendukung Cepat (RSF), membuka pintu baru bagi dialog serius yang mungkin membawa negeri ini keluar dari kubangan konflik yang melelahkan.
Al-Safi menegaskan kesiapan RSF untuk terlibat dalam perundingan damai, asalkan pihak lawan menunjukkan kesungguhan yang sama. Sikap ini mencerminkan titik balik penting, terutama karena RSF selama ini dianggap lebih condong pada solusi militer. Pernyataan ini menjadi penting karena datang menjelang pertemuan internasional di Brussels yang melibatkan Uni Eropa, Uni Afrika, Amerika Serikat, Inggris, Saudi Arabia, Mesir, dan Bahrain.
Peluang gencatan senjata yang sedang dijajaki ini juga tidak lepas dari tekanan internasional yang semakin besar untuk menghentikan kekerasan yang telah merenggut puluhan ribu nyawa dan memaksa jutaan lainnya mengungsi. Dunia internasional kini melihat celah untuk menekan kedua belah pihak agar memulai kembali dialog berdasarkan Deklarasi Jeddah, sebuah kesepakatan kemanusiaan yang sempat menjadi harapan pada 2023.
Al-Safi menyebut bahwa perundingan harus diawali dengan langkah-langkah membangun kepercayaan dan pengaturan yang kredibel. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa perdamaian tidak bisa datang secara instan, melainkan perlu dibangun dari fondasi kepercayaan antar pihak yang telah lama bermusuhan. Kalimat “perang ini tidak menghasilkan pemenang, hanya penderitaan bagi rakyat dan bangsa” menjadi refleksi mendalam dari situasi Sudan hari ini.
Namun, tantangan tidak kecil. RSF juga menegaskan tidak akan menerima perundingan yang hanya menjadi jeda bagi pihak lawan untuk memperkuat diri dan melanjutkan perang. Pernyataan ini menunjukkan bahwa kecurigaan masih sangat tinggi di kedua belah pihak. Untuk itu, kehadiran mediator internasional dengan kapasitas netral menjadi sangat penting untuk menjembatani kepentingan dan menjamin implementasi setiap kesepakatan.
Sementara pihak militer Sudan tetap bersikeras bahwa syarat utama dialog adalah pelaksanaan penuh Deklarasi Jeddah. Namun implementasi kesepakatan itu selama dua tahun terakhir dirusak oleh saling tuduh pelanggaran dari kedua belah pihak. Meski begitu, momentum saat ini menandakan adanya ruang baru untuk negosiasi yang lebih inklusif, melibatkan berbagai aktor bersenjata dan sipil dari seluruh wilayah Sudan.
Di sisi lain, dinamika politik dalam negeri Sudan semakin kompleks dengan rencana RSF dan koalisi “Tasis” untuk membentuk pemerintahan tandingan. Meski memunculkan kekhawatiran akan fragmentasi lebih lanjut, inisiatif ini juga bisa dibaca sebagai upaya menata ulang tatanan politik dari wilayah yang telah kehilangan kendali pemerintah pusat. Beberapa kalangan bahkan melihatnya sebagai tekanan politik untuk mempercepat perundingan.
Al-Safi menyebut lebih dari 90% persiapan pembentukan pemerintah persatuan telah rampung. Meski belum mengungkap ibu kota baru, ia memastikan lokasinya berada di wilayah yang sepenuhnya dikuasai oleh aliansi Tasis. Kota tersebut, menurutnya, akan bersifat strategis, fungsional, dan bersifat sementara. Ini menunjukkan adanya upaya untuk membangun sistem pemerintahan yang lebih inklusif di luar Khartoum.
Aliansi Tasis sendiri terdiri dari berbagai kelompok penting seperti RSF, SPLM-N, kelompok bersenjata dari Darfur, kekuatan komunitas, serta faksi Partai Umma Nasional. Distribusi kekuasaan yang disepakati menunjukkan upaya kompromi antara berbagai pihak, dengan RSF mendapatkan 43%, SPLM-N 32%, dan sisanya untuk kelompok lainnya. Ini menunjukkan bahwa perundingan internal terus berjalan, meski belum tanpa hambatan.
Sumber kedua mengatakan bahwa RSF diperkirakan akan menduduki jabatan kepala dewan kedaulatan setingkat presiden dan juga jabatan perdana menteri, sementara SPLM-N akan menempati posisi wakil kepala dewan.
Masih ada ganjalan, terutama dari Front Revolusioner yang mempersoalkan porsi kekuasaan. Namun proses diskusi terus berlanjut, dan sejauh ini tidak ada tanda-tanda keretakan besar dalam koalisi. Justru, pengalaman ini bisa menjadi modal penting bagi pembentukan pemerintahan transisi yang lebih demokratis jika proses damai nasional berhasil dijalankan.
Di lapangan, RSF terus memperluas wilayah pengaruh, termasuk di Darfur dan Kordofan Barat. Sementara itu, SPLM-N menguasai sebagian besar daerah di Pegunungan Nuba, menandakan bahwa wilayah administratif Sudan saat ini telah terfragmentasi secara de facto. Maka, perdamaian bukan hanya soal menghentikan tembakan, tetapi juga menyusun kembali struktur negara yang utuh dan inklusif.
Harapan terbesar tetap terletak pada rakyat Sudan. Di tengah kehancuran, warga tetap menunjukkan ketahanan sosial yang luar biasa. Komunitas-komunitas lokal di wilayah konflik telah mulai membangun sistem distribusi pangan, sekolah darurat, dan jaringan informasi sipil. Ini adalah potensi dasar untuk rekonstruksi pascakonflik yang lebih partisipatif.
Peluang damai Sudan juga diperkuat oleh dukungan negara-negara sahabat seperti Saudi Arabia dan Mesir yang memiliki pengaruh besar terhadap aktor-aktor di lapangan. Dukungan logistik dan diplomatik dari Uni Eropa dan Amerika Serikat pun menjadi penting dalam menjamin berlangsungnya proses perundingan secara transparan dan berkesinambungan.
Kini, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa semua pihak menyadari bahwa solusi militer tidak akan menyelesaikan masalah. Perlu ada keberanian politik dari elite militer dan sipil untuk duduk bersama, meletakkan senjata, dan merancang masa depan baru yang berpijak pada rekonsiliasi dan keadilan. Jika langkah ini diambil dengan tulus, Sudan bisa menjadi contoh baru rekonsiliasi pasca-konflik di Afrika.
Kondisi Sudan saat ini memang belum ideal, tetapi percikan harapan telah muncul. Setiap pernyataan terbuka untuk berdialog, setiap langkah membangun aliansi damai, dan setiap inisiatif untuk menyatukan berbagai faksi menjadi fondasi bagi perdamaian abadi. Dunia menanti, dan rakyat Sudan berhak atas masa depan yang damai, merdeka, dan bersatu.
Jika momentum ini bisa dijaga dan dimanfaatkan dengan bijak, bukan tidak mungkin Sudan dalam waktu dekat bisa memulai proses transisi menuju negara sipil yang demokratis. Inilah waktu bagi pemimpin-pemimpin Sudan untuk memilih: terus hidup dalam bayang-bayang perang, atau melangkah ke arah damai yang berkelanjutan demi generasi yang akan datang.
0 Komentar