Pada awal abad ke-19, wilayah pedalaman Sumatera Utara masih menjadi teka-teki besar bagi para peneliti dan pejabat kolonial Eropa. Minimnya akses serta keterbatasan pengetahuan antropologis membuat identifikasi terhadap suku-suku di kawasan ini menjadi serba kabur. Catatan-catatan dari masa itu sering kali bertentangan satu sama lain. Tidak ada standar tunggal dalam klasifikasi etnis, dan banyak istilah yang digunakan secara longgar, bergantung pada lokasi, narasumber, dan kepentingan si pencatat.
Baru setelah Belanda berhasil menaklukkan Aceh dan Tanah Batak pada akhir abad ke-19, klasifikasi suku di wilayah Sumatera Utara mulai dibakukan. Pemerintah kolonial yang ingin menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda secara administratif dan sosial memerlukan struktur identifikasi yang jelas. Maka mulailah muncul pengelompokan suku seperti yang kita kenal saat ini: Batak Toba, Karo, Mandailing, Pakpak, dan lainnya.
Namun, sebelum klasifikasi kolonial itu diberlakukan, ada satu catatan menarik yang menyebut hanya dua rumpun besar suku di wilayah Sumatera bagian utara dan tengah, yakni Mandailing dan Kataran. Catatan ini mengelompokkan sejumlah raja dan suku yang saat ini kita anggap berbeda, ke dalam dua rumpun tersebut. Hal ini mencerminkan cara pandang yang sangat berbeda dari yang dikenal masyarakat sekarang.
Dalam klasifikasi lama itu, kelompok Mandailing disebut mencakup raja-raja yang kini berada di wilayah Simalungun seperti Raja Siantar, Raja Silo, Raja Tanah Jawa, dan Raja Munto Panei. Ini membingungkan jika dibandingkan dengan pengelompokan modern, di mana wilayah-wilayah tersebut kini identik dengan budaya dan identitas Simalungun. Jika benar, maka dapat dikatakan bahwa Mandailing pada masa itu memiliki wilayah budaya yang jauh lebih luas.
Sementara itu, rumpun Kataran disebut mencakup sejumlah suku yang kini dianggap berbeda satu sama lain. Di dalamnya termasuk suku Pakpak (Pappak), Toba (Tubbak), Karo (Karau), Kappi, dan Alas. Kataran inilah yang disebut-sebut sebagai cikal bakal dari rumpun Karo, dan bahkan mencakup suku-suku di luar wilayah Karo modern. Nama Kataran sendiri memiliki kemiripan dengan salah satu marga besar dalam suku Karo: Ketaren.
Hal ini membuka ruang spekulasi menarik. Apakah istilah “Ketaren” yang kini menjadi nama marga Karo sebenarnya adalah warisan linguistik dari istilah Kataran? Atau barangkali keduanya berkembang dari akar budaya yang sama, namun kemudian membelah diri seiring perjalanan sejarah dan perbedaan wilayah?
Penyebutan Karo dalam rumpun Kataran juga menjadi penanda bahwa konsep “Karo” pada masa itu belum menjadi satu identitas etnik tunggal. Karo tampaknya masih menjadi bagian dari kelompok Kataran yang lebih besar. Begitu pula Mandailing, yang pada saat itu mungkin belum secara eksplisit dipisahkan dari kelompok-kelompok seperti Siantar dan Tanah Jawa.
Menariknya, wilayah seperti Silo dan Tanah Jawa yang kini dikenal sebagai bagian dari Kabupaten Simalungun, dahulu dianggap sebagai bagian dari wilayah Mandailing. Ini mengindikasikan bahwa batas budaya tidak selalu sejalan dengan batas administrasi modern. Kontak budaya, aliansi politik antar raja-raja, dan pergerakan penduduk menjadikan identitas suku sangat cair pada masa lalu.
Kekacauan dalam pencatatan ini juga terjadi karena para peneliti Eropa masa itu sering kali bergantung pada penterjemah lokal atau informan yang hanya mengetahui satu sisi dari keragaman budaya setempat. Tidak jarang, satu suku disebut dengan nama berbeda hanya karena berada di lokasi geografis yang berbeda atau berbicara dalam dialek yang sedikit bervariasi.
Perlu dicatat bahwa pada tahun 1823, catatan yang menyebutkan Raja Seantar, Raja Silo, dan lainnya sebagai bagian dari Mandailing, serta menyebut Kataran sebagai induk dari Karo, Pakpak, dan Toba, belum merefleksikan perpecahan identitas yang kelak terjadi pada abad ke-20. Identitas suku baru mengeras setelah intervensi Belanda, terutama melalui zending dan administrasi sipil.
Sebagai contoh, pengelompokan Batak oleh Belanda mengacu pada faktor agama dan bahasa, sementara dalam kenyataan sosial sebelumnya, faktor politik antar raja dan hubungan dagang sering kali lebih menentukan identitas kelompok. Bahkan hingga kini, perdebatan tentang apakah Mandailing adalah bagian dari Batak atau bukan masih terus berlanjut.
Dalam konteks sejarah lokal, penting untuk memahami bahwa identitas suku dan marga bukanlah sesuatu yang statis. Ia bisa berubah tergantung pada konteks sosial-politik. Ketika raja-raja membentuk aliansi atau mengalahkan lawan, identitas budaya mereka bisa bergeser atau menyatu dengan kelompok lain.
Dengan demikian, peta etnografis Sumatera Utara pada abad ke-19 sangat berbeda dengan yang kita kenal hari ini. Klasifikasi dua aliran besar—Mandailing dan Kataran—menunjukkan bahwa dahulu orang melihat dunia sosial ini dalam struktur makro yang lebih cair.
Catatan ini sangat penting, bukan hanya sebagai warisan sejarah, tetapi juga sebagai pengingat bahwa identitas budaya tidak bisa dibekukan dalam satu definisi tunggal. Ia lahir dari proses panjang pertukaran, konflik, dan perjumpaan antarmanusia yang tak berhenti berubah.
Dalam konteks ini, sejarah suku-suku Sumatera Utara harus dibaca dengan lensa yang lentur, tidak membatasi diri pada kotak-kotak identitas modern. Sebab, yang kini dianggap Karo, Simalungun, atau Mandailing, mungkin dulunya berada dalam rumpun yang sama dan baru dipisahkan oleh waktu dan sejarah kolonial.
0 Komentar